DAMAINYA ajaran Islam ASWAJA (BAG 1)

DAMAINYA AJARAN ISLAM ASWAJA
BAG I

Bismillah- dalam artikel ini penulis ingin mengajak kita untuk kembali kepada tuntunan ulama ahlusunnah waljama'ah,,,mari kita hidupkan kembali ajaran dimana islam mulai datang pertama kali ke indonesia,yang pada masa itu masih belum mengenal islam. Sampai datang para ulama yang menyebarkan islam dengan dakwah Yang mudah di mengerti dan menarik hati masyarakat kala itu , dari kiprah para ulama ini adalah aktivitas mereka menyebarkan agama di bumi pertiwi tidaklah dengan armada militer dan pedang, tidak juga dengan menginjak-injak dan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang saat itu masih didominasi Hindu dan Budha. Namun mereka melakukan perubahan sosial secara halus dan bijaksana.Mereka tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat namun justru menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka.Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang,gending atau gamelan. Dan ulama itu lebih dikenal dengan sebutan WaliSongo.
Berikut beberapa nama ulama  yang menyebarkan agama islam beserta media yang digunakannya:

1. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati Salah seorang Wali Songo yang sangat berperan dalam penyebaran agama Islam di Jawa Barat, khususnya Cirebon adalah Sunan Gunung Jati. Ia juga merupakan pendiri Dinasti Kesultanan Banten yang dimulai dari putranya Sultan Maulana Hasanuddin. Atas prakarsa Sunan Gunung Jati, dilakukanlah penyerangan ke Sunda Kelapa tahun 1527. di bawah pimpinan Fatahillah, panglima perang Kesultanan Demak yang juga menantu Sunan Gunung Jati
2. Sunan Ampel

Sunan Ampel memulai dakwahnya dari sebuah pesantren yang didirikan di Ampel Denta (dekat Surabaya). Karena itu ia dikenal sebagai pembina pondok pesantren pertama di JawaTimur. Sunan Giri, Raden Fatah, dan Sunan Drajat adalah murid-muridnya.
3. Sunan Gresik

Sunan Gresik. Selain dikenal gengan nama Maulana Malik ibrahim, Sunan Gresik juga dikenal dengan nama Maulana Magribi (Syekh Magribi) karena ia diduga berasal dari wilayah Magribi (Aprika Utara). Namun hingga kini tidak diketahui secara pasti sejarah tentang tempat dan tahun kelahirannya. Ia diperkirakan lahir sekitar pertengahan abad ke-14. Ia berasal dari keluarga muslim yang taat dan belajar agama Islam sejak kecil, namun tidak diketahui siapa gurunya, hingga ia menjadi seorang ulama.
4. Sunan Bonang

Sunan Bonang menyebarkan agama Islam dengan cara menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat jawa yang menggemari wayang dan musik gamelan. Untuk itu ia menciptakan gending-gending yang memiliki nilai keislaman. Setiap bait lagu diselingi dengan dua kalimat syahadat, sehingga musik gamelan yang mengiringinya kini dikenal dengan istilah sekaten.
5. Sunan Drajat

Sunan Drajat Sunan Drajat dikenal sebagai seorang wali yang berjiwa sosial tinggi. Ia banyak memberikan pertolongan kepada yatim piatu, fakir miskin, orang sakit dan orang sengsara. Perhatiannya yang besar terhadap masalah sosial sangat tepat pada masa itu, karena ia hidup pada saa Kerajaan Majapahit runtuh dan rakyat mengalami suasana kritis serta prihatin.
6. Sunan Muria

Sunan Muria Sunan Muria adalah salah seorang Wali Songo yang sangat berjasa bagi penyebaran Islam di daerah pedesaan. Putra Sunan Kalijaga ini dikenal suka menyendiri dan tinggal di desa bersama rakyat biasa. Dalam menyiarkan Islam, Sunan Muria selalu menjadikan desa-desa terpencil sebagai tempat operasinya.
7. Sunan Kudus

Sunan Kudus Sunan Kudus atau Jafar Sadiq digelari wali al-ilmi (orang berilmu luas) oleh para Wali Songo karena memiliki keahlian khusus dalam bidang agama. Karena keahliannya itu, ia Banyak di datangi oleh para penuntut ilmu dari beberapa wilayah. Ia juga dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan di daerah Kudus. Karenanya, ia menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin pemerintahan di wilayah itu.
8. Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai budayawan dan seniman (seni suara, ukir dan busana). Ia menciptakan aneka cerita wayang yang bernapaskan Islam. Sunan Kalijaga memperkenalkan bentuk wayang yang dibuat dari kulit kambing (wayang kulit), karena pada masa itu wayang popular dilukis pada semacam kertas lebar (wayang beber). Dalam seni suara, ia adalah pencipta lagu Dangdanggula.
9. Sunan Giri

Lahir pada pertengahan abad ke-15 dengan nama asli Raden Paku. Ia adalah putra Maulana Ishak dan dikenal dengan panggilan Raden Ainul Yaqin. Sunan Giri memulai aktivitas dakwahnya di daerah Giri dan sekitarnya dengan mendirikan sebuah pesantren dengan nama “Pesantren Sunan Giri”. Ia mengirim da’i terdidik ke berbagai daerah di luar pulau Jawa, seperti di Madura, Ternate, Tedore dan Kangean.Ia terkenal sebagai pendidik yang berjiwa demokratis. Ia mendidik anak-anak dengan berbagai permainan yang berjiwa agama seperti jelungan, jor gula, cublak-cublak, suweng, iler-iler yang masih dikenang hingga saat ini. Sunan Giri wafat dan dimakamkan di Giri, Gresik pada tahun 1506 M.
Masa-masa setelah Walisongo
Dan setelah masa-masa WaliSongo ,Allah SWT masih menjaga negeri ini dengan mendatangkan banyak ulama yang menebarkan cahaya islam di Nusantara, dan sebagian ulama tersebut datang ketika selesai nya masa-masa WaliSongo, tentunya peran ulama setelah WaliSongo tersebut sangat penting karena untuk mempertahankan keyakinan yang sudah di sebarkan para WaliSongo , juga untuk membantu rakyat indonesia yang kala itu dalam penjajahan. di antara ulama-ulama pada masa itu di dominasi oleh ulama ahlusunnah wal jama'ah yang menyebarkan paham yang hampir sama seperti para Walisongo. Di antaranya ulama-ulama tersebut:
HABIB SHOLEH BIN MUHSIN AL HAMID ( TANGGUL JEMBER JAWA TIMUR)
Beliau adalah Seorang wali qhutub yang lebih dikenal Dengan nama habib Sholeh Tanggul, Ulama Karismatik yang berasal dari Hadramaut pertama kali melakukan da’wahnya ke Indonesia sekitar tahun 1921 M dan menetap di daerah tanggul Jember Jawa timur. Habib Sholeh lahir tahun 1313 H dikota Korbah , ayahnya bernama Muhsin bin Ahmad juga seorang tokoh Ulama dan Wali yang sangat di cintai masyarakat , Ibunya bernama Aisyah ba umar.

Sejak Kecil Habib sholeh gemar sekali menuntut ilmu , beliau banyak belajar dari ayahandanya yang memang seorang Ahli ilmu dan Tasawuf , berkat gemblengan dan didikan dari ayahnya Habib sholeh memilki kegelisahan Batiniyah yang rindu akan Allah Swt dan Rindunya Kepada Rasulullah SAW, akhirnya beliau melakukan Uzlah ( Mengasingkan diri) selama hampir 7 tahun sepanjang waktu selama beruzlah Habib Sholeh memperbanyak Baca al quran , Dzikir dan membaca Sholawat . Hingga Akhirnya Habib Sholeh Di datangi Oleh tokoh Ulama yang juga wali Quthub Habib Abu bakar bin Muhammad assegaf dari Gresik, Habib Sholeh Diberi sorban hijau yang katanya Sorban tersebut dari Rosululloh SAW dan ini menurut Habib Abu bakar assegaf adalah suatu Isyarat bahwa Gelar wali Qhutub yang selama ini di sandang oleh habib Abubakar Assegaf akan diserahkan Kepada Habib Sholeh Bin Muhsin , Namun Habib sholeh Tanggul merasa bahwa dirinya merasa tidak pantas mendapat gelar Kehormatan tersebut. Sepanjang Hari habib Sholeh tanggul Menangis memohon kepada Alloh Swt agar mendapat Petunjuknya.

Dan suatu ketika habib Abyubakar Bin Muhammad assegaf gresik mengundang Habib sholeh tanggul untuk berkunjung kerumahnya , setelah tiba dirumah habib Abubakar Bin Muhammad assegaf menyuruh Habib Sholeh tanggul untuk melakukan Mandi disebuah kolam Milik Habib Abu bakar Assegaf , setelah mandi habib Sholeh tanggul di beri Ijazah dan dipakaikan Sorban kepadanya. Dan hal tersebut merupakan Isyarat Bahwa habib Abubakar Bin Muhammad Assegaf telah memberikan Amanat kepada Habib sholeh tanggul untuk melanjutkan Da’wak kepada masyrakat.

Habib Sholeh mulai melakukan berbagai aktifitas dakwahnya kepada Masyarakat, dengan menggelar berbagai Pengajian-pengajian . Kemahiran beliau dalam penyampaian dakwahnya kepada masyarakat membuat beliau sangat dicintai , dan Habib sholeh Mulai dikenal dikalangan Ulama dan habaib karena derajat keimuan serta kewaliaan yang beliau miliki. Habib sholeh tanggul sering mendapat Kunjungan dari berbagai tokoh ulama serta habaib baik sekedar untuk bersilahturahim ataupun untuk membahas berbagai masalah keagamaan,
 
Pernah suatu ketika habib Sholeh tanggul berpergian dengan habib Ali Al habsyi Kwitang dan Habib ali bungur dalam perjalanan Beliau melihat kerumunan Warga yang sedang melaksanakan sholat Istisqo’ ( Sholat minta hujan ) karena musim kemarau yang berkepanjangan , lalu Habib sholeh Memohon kepada allah Untuk menurunkan Hujan maka seketika itupula hujan turun. Beliau berpesan kepada jama’ah Majlis ta’limnya apabila do’a-doa kita ingin dikabulkan oleh Allah Swt jangan sekali-kali kita membuat alloh murka dengan melakukan Maksiyat, Muliakan orang tua mu dan beristiqomalah dalam melaksanakan sholat subuh berjama’ah.

Habib Sholeh berpulang kerahmatulloh pada tanggal 7 sawal 1396 h atau sekitar tahun 1976, hingga sekarang Karomah beliau yang tampak setelah beliau meninggal adalah bahwa maqom beliau tidak pernah sepi dari para jamaah yang datang dari berbagai daerah untuk berziarah apalagi waktu perayaan haul beliau yang diadakan setiap hari kesepuluh dibulan syawal ribuan orang akan tumpah ruah kejalan untuk memperingati haul beliau.

Habib Salim bin Jindan - Jakarta, Ulama dan Pejuang Kemerdekaan RI

Ulama habaib Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan. Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada
Habib Salim bin Jindan - yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab,
antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.

Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta
pada 16 Rabi'ulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad
bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti
lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari
ayahandanya.

Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin
Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso),
Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad
Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan
Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang
ahli hadits dan fuqaha, yang saat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di
Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim
yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar
yang ia kunjungi.

Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai
ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab
hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai
muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, "Aku telah berkumpul dan
hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis
para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan
kharisma mereka." Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi
bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka,
Habib Salim pernah berkata, "Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan
suri tauladan."

Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga
berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib
Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah
Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang
maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi
Polisionil I pada 1947 dan 1948.

Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun,
ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi
munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah
airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman - cinta tanah air adalah sebagian dari
pada iman.

Kembali Berdakwah

Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan
apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia
ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama
Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta,
di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.

Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah
Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di
Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau
Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama
Al-Fakhriah.

Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab
berbagai persoalan - yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika
ia ditanya oleh seorang pendeta, "Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup
atau yang sudah mati?" Maka jawab Habib Salim, "Semua orang akan menjawab, yang
hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai." Lalu
kata pendeta itu, "Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin
Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa -- menurut keyakinan
Habib -- belum mati, masih hidup."

"Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah
meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang," jawab Habib
Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu
bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk
Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.

Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh.
Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral
akibat pornografi dan kemaksiatan. "Para wanita mestinya jangan membuka aurat
mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau
memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin," kata
Habib Salim kala itu.

Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika
itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke
rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para
pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid
Alhawi, Condet, Jakarta Timur.

Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga
sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak
keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid
(termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto
Iskandar Dinata.

Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan
sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di
Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel
bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim - dua putra almarhum Habib Novel.
"Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski
begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang
sulit dijangkau," kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.

Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap
diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak
keluarga. "Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati
keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari
orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah
(perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih
berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain."

Disarikan dari Manakib Habib Salim bin Jindan karya Habib Ahmad bin Novel bin
Salim

0 Response to "DAMAINYA ajaran Islam ASWAJA (BAG 1)"

Posting Komentar