Belum Qadha Puasa Saat Ramadhan Tiba
ShareHolaqoh – Menjelang Ramadhan sebagian Muslimah mulai disibukkan untuk
meng-qadha puasa yang belum sempurna di Ramadhan sebelumnya. Berikut beberapa
pertanyaan seputar mengqadha puasa yang dibahas dalamKonsultasi.wordpress yang dijawab oleh
Muhammad Shiddiq Al-Jawi:
1. Bagaimana cara
mengqadha` puasa yang ditinggalkan? Masalahnya, belum sempat mengqadha’
ternyata bulan puasa sudah tiba kembali
2. Ustadz, kalau belum
bayar hutang puasa tahun kemarin, tapi sudah ketemu Ramadhan lagi, bagaimana
hukumnya?
Jawab :
Barangsiapa yang belum mengqadha puasa Ramadhan yang lalu,
kemudian sudah datang lagi Ramadhan berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan
penundaan (ta`khir) qadha
tersebut. Jika penundaan itu karena ada udzur (alasan syar’i), seperti sakit,
nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. Demikian menurut seluruh
mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena
ada udzur dalam penundaan qadha`-nya.
Namun jika penundaan qadha` itu tanpa ada udzur, maka para ulama
berbeda pendapat dalam dua pendapat :
Pendapat Pertama,
pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan
lain-lain berpendapat orang tersebut di samping tetap wajib mengqadha`, dia
wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap
hari dia tidak berpuasa. Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari
penundaan qadha`-nya. Demikian penuturan Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni Ma’a Asy-Syarh Al-Kabir, II/81
(Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi,Fiqhush
Shiyam, [Kairo : Darush Shahwah], 1992, hal. 64).
Pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua : (1) Menurut
ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadhan
(Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala
al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal. 109). (2)
Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni
tidak berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu,
II/680).
Dalil pendapat pertama ini, yakni yang mewajibkan fidyah di
samping qadha karena adanya penundaan qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya,
adalah perkataan sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu
Hurairah (Imam Syaukani, Nailul Authar,
[Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872). Ath-Thahawi dalam masalah ini
meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam,”Aku mendapati pendapat ini dari enam
sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat
dengan mereka.” (wajadtuhu ‘an
sittin min ash-shahabati laa a‘lamu lahum fiihi mukhalifan).(Mahmud
Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li
Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 210).
Imam Syaukani menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini.
Yaitu sebuah riwayat dengan isnad dhaif dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW
tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa,
kemudian dia sehat namun tidak mengqadha` hingga datang Ramadhan berikutnya.
Maka Nabi SAW bersabda,”Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu,
kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia
memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa].” (yashuumu alladziy adrakahu tsumma yashuumu asy-syahra alladziy
afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam
Syaukani, Nailul Authar, hal.
871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami
wa Adillatuhu, II/689).
Pendapat Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim
An-Nakha`i, Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan
Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qadha` hingga
datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha`. Tidak
ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami
wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.
210).
Dalil ulama Hanafiyah ini sebagaimana dijelaskan Wahbah
Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami
wa Adillatuhu (II/240). adalah kemutlakan nash Al-Qur`an yang berbunyi “fa-‘iddatun min ayyamin ukhar” yang
berarti “maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Perlu ditambahkan bahwa dalam masalah menunda qadha` (ta`khir al-qadha`), Imam Abu Hanifah
memang membolehkan qadha` puasa Ramadhan kapan saja walau pun sudah datang lagi
bulan Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nash Al-Baqarah : 183.
Dalam kitab Al-Jami’ li
Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122, dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah
berkata,”Kewajiban mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang
waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya.”
(wujuubu al-qadhaa`i muwassa’un duuna taqyiidin
walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy).
Sedang jumhur berpendapat bahwa penundaan qadha` selambat-lambatnya
adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadhan berikutnya.
Dalil pendapat jumhur ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi,
Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari ‘A`isyah RA dia berkata,”Aku tidaklah mengqadha`
sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan
Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW.” (maa
qadhaytu syai`an mimmaa yakuunu ‘alayya min ramadhaana illaa sya’baana hatta
qubidha rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallama)
(Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li
Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 122).
Tarjih
Setelah mendalami dan menimbang dalil-dalilnya, pendapat yang rajih (kuat) menurut pemahaman
kami adalah sebagai berikut :
Masalah Fidyah
Mengenai wajib tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha`
Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu
Hanifah, Ibrahim An-Nakha`i, dan lain-lain. Pendapat ini menyatakan bahwa orang
yang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib membayar
fidyah.
Hal itu dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang
menunda qadha` Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya, membutuhkan adanya
dalil khusus dari nash-nash syara’. Padahal tidak ditemukan nash yang layak
menjadi dalil untuk kewajiban fidyah itu. (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.210).
Adapun dalil hadits Abu Hurairah yang dikemukakan, adalah hadits
dhaif yang tidak layak menjadi hujjah (dalil). Imam Syaukani berkata,”…telah
kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadits shahih]
dari Nabi SAW.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal.
872). Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan
dalam kitabnya Ar-Raudatun
An-Nadiyah (I/232),”…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadits
sahih] dari Nabi SAW.” (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush
Shiyam, hal. 64).
Pendapat beberapa sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu,
adalah dasar yang lemah. Sebab pendapat sahabat –yang dalam ushul fiqih disebut
dengan mazhab ash-shahabi atau qaul ash-shahabi— bukanlah
hujjah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam. Imam Syaukani
berkata,”Pendapat yang benar bahwa qaul
ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i].” (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 243). Imam
Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan,”…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.”
(Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah
Al-Islamiyah, III/411).
Mengenai periwayatan ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia
berkata,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui
dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka”, tidaklah dapat
diterima. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah dalam Al-Jami’
li Ahkam Ash-Shiyam hal.210 mengatakan,”Sesungguhnya
riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah terbukti, sebab riwayat-riwayat itu
berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah [dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan
tidak boleh ditaqlidi atau diikuti.”
Masalah Waktu Qadha
Adapun waktu qadha`, yang rajih adalah
pendapat jumhur, bukan pendapat Imam Abu Hanifah, rahimahullah. Jadi
mengqadha` puasa Ramadhan itu waktunya terbatas, bukan lapang (muwassa`) sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah. Maka
qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadhan berikutnya. Jika seseorang
menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadhan berikutnya, dia berdosa.
Dalilnya adalah hadits A`isyah RA di atas bahwa dia berkata,”Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku
dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu
Khuzaimah, dan Ahmad, hadits sahih). (Terdapat
hadits-hadits yang semakna dalam lafazh-lafazh lain sebagaimana diriwayatkan
oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat Imam Syaukani, Nailul
Authar, hal. 871-872, hadits no. 1699).
Memang hadits di atas adalah hadits mauquf yaitu merupakan
perbuatan, perkataan, dan diamnya sahabat, yang dalam hal ini adalah perkataan
dan/atau perbuatan ‘Aisyah RA. Jadi ia memang bukan hadits marfu’, yaitu hadits
yang isinya adalah perbuatan, perkataan, dan diamnya Rasulullah SAW.
Namun adakalanya sebuah hadits itu mauquf, tapi dihukumi sebagai
hadits marfu’. Para ulama menyebut hadits semacam ini dengan sebutan al-marfu’ hukman, yakni
hadits yang walaupun secara redaksional (lafzhan)
adalah hadits mauquf tetapi secara hukum termasuk hadits marfu’ (Mahmud
Thahhan, Taysir Musthalah
al-Hadits, hal. 131).
Hadits al-marfu’
hukman mempunyai ciri antara lain bahwa objek hadits bukanlah lapangan
pendapat atau ijtihad. Dengan kata lain, bahwa seorang sahabat tidaklah
berkata, berbuat, atau berdiam terhadap sesuatu kecuali dia telah memastikan
bahwa itu berasal dari Nabi SAW (Shubhi Shalih, ‘Ulumul
Hadits wa Musthalahuhu, hal. 207-208).
Mengenai hadits ‘A`isyah RA di atas terdapat indikasi bahwa ia
adalah al-marfu’ hukman. Mahmud
Abdul Latif Uwaidhah menjelaskan dalam Al-Jami’
li Ahkam Ash-Shiyam hal. 123-124 dengan mengatakan :
“Adalah jauh sekali, terjadi perbuatan itu dari ‘A`isyah —yang
tinggal dalam rumah kenabian— tanpa adanya pengetahuan dan persetujuan (iqrar) dari Rasulullah SAW. Nash ini layak menjadi dalil bahwa batas
waktu terakhir untuk mengqadha` puasa adalah bulan Sya’ban. Artinya, qadha`
hendaknya dilaksanakan sebelum datangnya Ramadhan yang baru. Jika tidak
demikian, maka seseorang telah melampaui batas. Kalau qadha` itu boleh ditunda
hingga datangnya Ramadhan yang baru, niscaya perkataan ‘A`isyah itu tidak ada
faidahnya. Lagi pula pendapat mengenai wajibnya mengqadha` sebelum datangnya
Ramadhan yang baru telah disepakati oleh para fuqaha, kecuali apa yang diriwayatkan
dari Imam Abu Hanifah,rahimahullah.”
Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang
menunda qadha` hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib
membayar fidyah. Adapun dalam hal waktu mengqadha`, qadha` wajib dilaksanakan
selambat-lambatnya pada bulan Sya’ban dan berdosa jika seseorang menunda qadha`
hingga masuk Ramadhan berikutnya. Wallahu
a’lam.
0 Response to "Belum Qadha Puasa Saat Ramadhan Tiba"
Posting Komentar